Antara Budaya “Menghakimi” dan Kesadaran Hukum di Masyarakat

0
Foto: Gbr Ilustrasi "Menghakimi".

PAPARAN.id KONTRIBUTOR ǁ Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita menyaksikan fenomena budaya bergunjing dan menghakimi yang cukup melekat di masyarakat kita. Budaya ini tampaknya menjadi bagian yang sulit untuk dihilangkan dalam setiap interaksi sosial. Di balik fenomena ini, penting bagi kita untuk menyadari pentingnya prinsip-prinsip hukum yang mengatur praduga tak bersalah.

Dalam kaitannya dengan dunia hukum, praduga tak bersalah adalah prinsip hukum yang telah lama ada dan menjadi pondasi dari proses peradilan yang adil. Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang dianggap tidak bersalah hingga terbukti secara sah dan meyakinkan sebaliknya. Praduga tak bersalah ini seharusnya menjadi pegangan kita dalam memberikan penilaian terhadap seseorang yang sedang menghadapi proses hukum.

Namun, dalam praktiknya, kita seringkali melupakan prinsip ini dan lebih cenderung untuk menghakimi seseorang sebelum proses hukum selesai. Banyak faktor yang mempengaruhi ‘budaya’ ini, seperti tekanan sosial, pengaruh media, dan kecenderungan manusia untuk membentuk opini tanpa ada bukti yang jelas. Kita seringkali terjerat dalam kebiasaan mengeluarkan pernyataan atau mengedarkan kabar yang belum terbukti kebenarannya, dan hal ini dapat memberikan efek negatif bagi individu yang sedang berhadapan dengan sistem hukum.

Hal ini juga berkaitan dengan aspek prinsip inkracht dari suatu putusan pengadilan. Inkracht merupakan kekuatan hukum yang dimiliki oleh suatu putusan pengadilan yang telah menjadi tetap dan tidak dapat lagi diajukan banding atau upaya hukum lainnya. Jika kita secara sembarangan menyebarkan informasi atau menghakimi seseorang sebelum putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, kita dapat menjadi bagian dari tindakan pencemaran nama baik karena merugikan individu tersebut.

Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk memahami aturan yang mengatur tentang presumption of innocence atau praduga tak bersalah ini. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, praduga tak bersalah menjadi hak asasi manusia yang dijamin oleh negara. Begitu juga dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), terdapat ketentuan yang mengatur proses penyelidikan, penuntutan, dan penahanan yang harus memperhatikan praduga tak bersalah.

Dalam Buku yang berjudul: Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan yang ditulis oleh M. Yahya Harahap. Pada buku tersebut, mengenai penerapan asas praduga tak bersalah, Yahya Harahap berpendapat (hal. 34): “Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat, dia harus dinilai sebagai subjek bukan objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka melainkan perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan atau ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukannyalah pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.”

Dalam konteks masyarakat yang menyadari pentingnya kesadaran hukum, kita perlu terlibat dalam membentuk pola pikir yang tidak mudah terpengaruh oleh opini yang belum terbukti kebenarannya. Kita dapat memulainya dengan menempatkan diri dalam posisi seseorang yang sedang menghadapi proses hukum. Bagaimana kita ingin diperlakukan jika kita dihakimi tanpa bukti yang kuat?

Selain itu, penting juga untuk meningkatkan pemahaman kita tentang proses hukum dan penghargaan terhadap otoritas hukum. Mengkonsultasikan tenaga ahli hukum sebelum menyebarkan informasi yang belum terbukti dapat membantu kita dalam menghindari potensi melakukan tindakan yang melanggar inkracht dan prinsip praduga tak bersalah.

Budaya menghakimi tentu tidak dapat dihilangkan begitu saja, tetapi dengan meningkatkan kesadaran hukum di masyarakat, kita dapat mengurangi dampak negatif yang ditimbulkannya. Menghargai hak asasi manusia, termasuk praduga tak bersalah, adalah sikap yang harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

(Redaksi/AJeKa)

Sharing is caring

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here